Cerita Pesugihan di Desaku: Banyak Pelakunya, Banyak Korbannya

Saya lahir dan besar di salah satu desa di Jawa Tengah. Menurut rumor yang beredar banyak orang di desa saya yang melakukan pesugihan. Saat itu saya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas 3 di ibukota kecamatan, ketika teman sebangku saya menanyakan apakah benar bahwa di desa saya banyak orang yang melakukan pesugihan.
“Menurut orang yang memiliki mata batin, di desa kamu banyak orang melakukan pesugihan. Ketika malam hari, dari daerah yang lebih tinggi desamu tampak gelap gulita, rumah-rumah gedongan terlihat tidak menyala lampunya, hanya sedikit rumah yang tampak terang. Menurutmu bagaimana?” ujar teman saya.
Mendapatkan pertanyaan tersebut saya hanya diam, sudah sering saya mendengar hal semacam itu, bahkan rumor tersebut sudah ada sejak dulu. Tetapi jika dilihat dari kacamata ekonomi, wajar saja jika banyak orang kaya di desa saya, sebab desa saya merupakan salah satu sentra ekonomi.
Penjelasan Kakek Buyut
Kakek buyut saya (kakeknya ibu) dikenal memiliki kemampuan sebagai seorang tabib, ia juga sering dimintai tolong untuk memindahkan hantu yang suka mengganggu. Setelah lulus Sekolah Dasar (SD) ibu saya diminta oleh kakek buyut untuk tinggal bersama dengannya, sekaligus melanjutkan ke SMP. Kakek saya yang saat itu ekonominya sedang sulit pun setuju dengan hal tersebut.
Bukan berarti di rumah kakek buyut ibu bisa bersantai ria. Ia banyak melakukan kegiatan domestik, seperti mencuci pakaian, memasak, membikin air minum untuk tamu, menjemur biji kopi. Maka tidak mengherankan jika ibu mewarisi kemampuan milik kakek buyut dan nenek buyut.
Suatu hari ibu sedang mencuci baju di sungai ditemani kakek buyut, lalu ibu bertanya “Apakah benar di desa ini banyak orang melakukan pesugihan?”, kakek pun menjawab iya. Lebih lanjut kakek buyut menceritakan pemandangan mata yang dilihatnya, orang yang melakukan pesugihan di mata kakek buyut akan terlihat berbeda. Misalnya orang melakukan pesugihan monyet, maka di mata kakek buyut orang tersebut akan terlihat seperti monyet. Jika melakukan pesugihan ular, akan terlihat seperti ular, begitu seterusnya.

Menurut penuturan ibu, kakek buyut juga menceritakan bahwa ada satu weton (hari istimewa). Weton tersebut tidak akan bisa melakukan pesugihan dan tidak akan bisa menjadi tumbal, yaitu weton Jumat.
Perihal pemandangan mata yang dilihat oleh kakek buyut, itu juga yang menjadi sebab mengapa hingga wafatnya pada tahun 2000 di Makkah ketika melaksanakan ibadah haji, ia tidak pernah mau melaksanakan Salat Jumat di masjid desanya. Katanya ia melihat hal-hal aneh di beberapa bangunan masjid. Bangunan yang di dalamnya terdapat uang hasil pesugihan, sekalipun uang hasil pesugihan tersebut disumbangan, pasti akan terlihat berbeda.

Kondisi ekonomi keluarga saya saat itu (TK-SD-SMP) belum stabil seperti sekarang, baru stabil tatkala saya duduk di kelas 2 Aliyah, alahasil ibu pun banting tulang bekerja menjadi buruh tani. Ayah saya bekerja di Jakarta, tetapi istilahnya ngemprah (jarang kirim uang). Beberapa tahun kemudian ayah mengakui kalau uang gajiannya untuk orang tuanya.

Masa-masa SMP bagi saya adalah masa terberat, seringkali ibu tidak ada beras di rumah, alhasil saya ikut makan di rumah adiknya ibu dan nenek dari pihak ibu. Pernah batuk kering selama berminggu-minggu, boro-boro periksa, untuk membeli obat pun tidak ada. Boro-boro untuk meminjam ke keluarga ayah, yang ada malah dicaci maki.
Meskipun begitu setiap kali ibu mendapatkan gajian dari menjadi buruh tani, ia selalu membeli daging ayam di pasar. Suatu hari ketika sedang mengantre membeli, ibu menemukan uang ratusan ribu di bawah lapak pedagang ayam tersebut. Kondisi uang tersebut masih baru dan wangi. Anehnya pembeli yang lain tidak ada yang melihatnya. Oleh ibu uang tersebut diserahkan ke pedagang ayam tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *