Kepaten Ritual merenggut nyawa 7 warga DESA

Part 2

“Ya ndak to, nduk. Sampeyan kan ngerti, Mas Suroso kui wong sing bertanggung jawab” (Ya tidak to, nduk. Kamu kan tahu, Mas Suroso itu orang yang bertanggung jawab) jawabnya penuh percaya diri.
Kumajukan bibir tidak percaya dengan ucapannya. Kembali ku palingkan kepala ke arah depan. Pentas seni itu jauh lebih menarik ketimbang melihat wajah Mas Suroso yang sok Ganteng.
Adegan yang dinantikan para penonton di mulai, mereka dengan luwes memerankan adegan saling pukul satu sama lain.
Belum lagi efek asap yang ditimbulkan oleh panitia acara, serta bau kemenyan yang khas. Menjadikan suasana tampak lebih magis dalam medan pertempuran.

Cetarrrr… Suara lecutan menggema keras.

Kami serempak menahan napas. Dari arah belakang panggung seorang laki-laki paruh baya dengan baju serba hitam datang dengan melecut kan cemeti berulang kali.

Cetarrr….

Kali ini suara lecutan di barengi dengan lemparan bunga mawar, membuat satu diantara para penari mulai bergerak tak terkendali.

Penari itu seperti kehilangan akal. Ia berlari ke ujung panggung, mengambil ayam cemani hitam yang sudah mati dan langsung memakannya dengan beringas.

“Wooohhh, edyaaan” Sontak banyak warga yang bertepuk tangan bahkan beberapa mundur merasa jijik.

“Hoeeeekkk” Terdengar suara Mas Suroso yang mau memuntahkan isi perutnya.

“Ihh… Lemah” Komentar ku jijik.

“Hoeeekk… gilani. Pitik mentah diuntal” (Hooeekk… menjijikkan. Ayam mentah dimakan) kata Mas Suroso sambil menutup mulutnya.

“Mas, itu ngapain?” kata ku sambil memegangi lengan Mas Suroso erat mengiraukan siksaan yang sedang dideritanya.

Ku lihat beberapa pawang berbaju hitam berjalan sedang mengelilingi Setyo. Kemudian salah satu dari mereka keluar dari barisan, lalu duduk bersila di depannya.

Tak bisa kulihat apa yang sedang ia lakukan. Yang ku tahu ada asap tipis menguar dengan bau kemenyan yang khas.

“Ndak apa-apa nduk. Itu cuma hiburan, biar penonton makin riuh” Jawab Mas Suroso, yang sudah bangkit sambil mengelap mulutnya yang basah dengan air liur.

Cetarrrrr…

Suara lecutan kembali menggelegar, saat kelima pawang menghentakkan cemeti mereka berbarengan.
Perhatianku tertuju kepada Setyo yang bergerak aneh. Bocah itu menelengkan kepala ke kanan dan kiri, dengan ujung bibir tertarik ke samping.

Hebohnya lagi, para penari lainnya seperti merangkak menuju ke arahnya. Seolah Setyo menjadi magnet bagi mereka semua.

Keriuhanpun makin menjadi, saat para penonton berdesakan ingin melihat apa yang sedang terjadi di tengah panggung.

“Kesurupuan, nduk” Ujar Mas Suroso saat aku memalingkan muka ke arahnya dengan expresi tanya.
Ku tengok ke kembali ke arah panggung. Kini ke empat pawang sedang membentangkan kain putih untuk menutupi tubuh Setyo.
Aku khawatir dengan keadaan adikku. Tampak sekali kalau bocah itu menggeliat seperti orang kesakitan.

Suara gamelan makin terdengar keras dengan tempo alunan musik yang bertambah cepat. Membuat para penari bergerak semakin brutal.

Ada yang melompat, memakan gelas kaca, ada pula yang mengupas buah kelapa dengan giginya. Hingga, beberapa waktu kemudian Setyo menarik kain putih yang menyelubunginya. Ia berdiri dengan gagah, kepalanya meneleng, kedua tangan berada di pinggul.

Ia berjalan dengan wibawa bak seorang ningrat. Satu persatu para penari yang kehilangan kesadaran ia pulihkan hanya dengan menyentuh kening mereka.

Duaaarrr…

Kali ini bukan suara cemeti yang terdengar. Melainkan gelegar guntur yang datang bersamaan dengan rintik hujan.

Berbondong para penonton menyingkir, menghindari gerimis yang mulai turun deras.
“Nduk, ayo!” Ajak Mas Suroso sambil mencoba menarik tanganku.

Namun ku tolak. Tatapanku tak lepas dari sosok Setyo yang masih hilir mudik menyembuhkan penari lainnya.
“Mas, kae temenan?” (Mas, itu beneran?) tanya ku mengabaikan rintik hujan.

“Ora popo. Ngundang dedemit ben tambah rame” (Tidak apa-apa. Memanggil dedemit biar tambah ramai) ucap nya sambil melepas jaket dan mengerudungkan di atas kepala kami.

“Yowes yok moleh”(ya sudah yuk pulang) pinta ku.

Sepanjang jalan becek menuju rumah, aku terus memikirkan pentas tadi. Saat melihat Setyo menari di atas panggung, ada rasa bangga yang muncul. Bocah yang selama ini ku asuh, bisa memiliki kharisma yang begitu mempesona.

“Ora mampir disik mas?” (Tidak mampir dulu, mas) tanyaku saat Mas Suroso langsung berpamitan.

“Mboten, Widuri sayang! Mas kudu balik mrono. Panitia acara” (Tidak, Widuri sayang! Mas harus kembali ke sana. Panitia acara) Imbuhnya sok penting.

“Ya sudah. Hati-hati” Ucap ku.

Setelah punggung Mas Suroso berjalan menjauh, segera ku tutup pintu. Namun, baru saja kakiku terangkat satu pijakan, pintu kembali di ketuk.

“Halah, lambene. Jare panitia acara” (Halah, mulutnya. Katanya panitia acara) ejek ku mengira Mas Suroso mengurungkan niatannya.

Awalnya ku biarkan, namun lama kelamaan suara gedoran semakin kencang. Merasa curiga, tak langsung ku buka pintu.

Aku bergeser menyamping, mengintip dari celah korden guna melihat siapakah gerangan. Namun sialnya, pandangan ku tertutup oleh ada almari kayu yang tempo hari di letakkan bapak di luar rumah.

“Hissh” Gumam ku.

Suara gedoran semakin menjadi. Bahkan mengalahkan suara hujan yang semakin deras.

“Sopo?” (Siapa?) kata ku memastikan.

Tidak ada sahutan. Justru yang ada pintu kembali digedor dengan tenaga extra, membuat daun pintu bergetar dari engselnya.
Aku berfikir, tidak mungkin itu maling, kalaupun setan juga tidak mungkin, toh hari masih siang.

Terpaksa, Aku kembali melangkah ke depan pintu, perlahan ku tarik hendelnya. Saat sudah sedikit terbuka, tampak bayangan orang berdiri di sisi yang tak terlihat.

Takut-takut aku menggerakkan kepala ke samping, seketika aku mengela napas saat melihat orang itu.
Setyo berdiri disana dengan wajah hampa tanpa expresi. Satu tangannya masih terangkat, dengan posisi mengepal.

Dengan perasaan dongkol, hampir saja aku memakinya. Umpatan dari bibirku sudah hampir keluar.

Namun ku urungkan, ada sesuatu yang berbeda dari sosok Setyo kali ini. Ia menatapku dengan sorot mata tajam dan seringai menakutkan, adapun noda merah di sekeliling bibirnya.
“Minggir” Geramnya.

Aku mundur selangkah memberinya jalan. Aura Setyo begitu berbeda, bahkan aku yang sudah hidup 15 tahun dengannya hanya bisa diam terpukau.

Blam… pintu kamar Setyo di banting dengan keras.“Astaghfirullah” Ucap ku kaget.

“Setyo, koe ngopo?” (Setyo, kamu kenapa?) tanyanku pelan.
Ia tidak menjawab, hanya terdengar suara geraman yang muncul. Khawatir bocah itu masih kesurupan, ku coba untuk bertanya sekali lagi. Jika masih seperti itu, aku berniat untuk memanggil Mas Suroso kesini.

“Setyo…” Kata ku.

“Grrrrr… Rasah brisik nek ra pengen ciloko” (Tidak usah berisik, kalau tidak mau cilaka) Ucap Setyo dengan suara berat.

Aku menelan ludah, lantas bergerak cepat ke arah samping. Tetapi saat hampir mencapai ruang depan, ku dengar pintu kamar Setyo kembali di banting dengan keras.

ditunggu lanjutannya ya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *