Kepaten – Part 1
Desa Keranjan – 1993
Ramai! Tak biasanya lapangan Desa begitu penuh. Kumpulan manusia berdesakan, saling sikut dan dorong. Warga desa tetangga pun ikut datang berduyun. Banyak pula pedagang dengan semangat menjajakan jualannya.
Acara ini memang sudah dinantikan seluruh warga. Upacara adat untuk menyambut datangnya musim panen, sekaligus sebagai rasa syukur atas keberkahan Tuhan.
Desaku berada di ketinggian, sebuah desa kecil di wilayah Jawa Tengah, dengan jumlah warga tak begitu banyak.
Hampir separuh wilayah permukiman digunakan untuk ladang sayuran, sisanya untuk rumah tinggal yang berjarak cukup jauh satu sama lain.
Cring… cring… cring…
Suara lonceng dari hentakan kaki para penari mulai terdengar berirama.
Para penonton bersuara penuh gairah saat melihat satu persatu penari muncul dari arah tenda sederhana di belakang panggung.
Mereka berjalan beriringan menjadi membentuk satu barisan. Yang paling depan biasanya kami sebut sebagai kepala suku. Sedang yang lainnya sebagai dayang atau pengiring.
Tak khayal, penari laki-laki tampak gagah, yang perempuan begitu “ayu”. Sementara penari yang wajahnya dirias menyerupai sosok Buto, dengan gerakan dan gesturnya yang menyeramkan, mampu menjadikan puncak acara begitu meriah. Cring Cring..
Satu hentakan kaki dari kepala suku menjadi penanda awal. Dengan luwes mereka berputar, melompat, dan bergerak tegas mengikuti iringan gamelan.
Kuperhatikan salah seorang penari di tengah panggung. Gerakannya begitu anggun tanpa menghilangkan kesan gagah, membuat sepasang mata perempuan tertuju padanya.
“Aduh, menika larene sinten nggih, bu? Gagah saestu” (Aduh, itu anaknya siapa ya, bu? Gagah sekali) ucap seorang wanita di sampingku dengan tangannya menunjuk ke arah Setyo.
Aku terkekeh geli, ternyata Setyo sudah punya penggemar. Sayangnya bukan wanita muda, melainkan janda paruh baya.
“Setyo… Setyo”
Terdengar teriakan di sisi lainnya. Senyumku perlahan lenyap, ketika mendengar para wanita muda itu, bahkan yang sudah bersuami pun meneriakkan nama yang sama.
“Heh, ngelamunin jorok yo. Senyam senyum sendiri?” Tegur Mas Suroso yang berdiri di sampingku.
Dandanannya kali ini begitu eksentrik, menggunakan setelan baju bergaya parlente. Belum lagi rambut klimisnya itu seperti diolesi minyak jelantah. Aromanya? Tak usah ditanya, bau ikan asin bercampur keringat.
“Jorok, mbahmu. Itu lho liatin si Setyo!” Ucapku tak mengalihkan pandangan.
“Siapa dulu yang melatihnya? Mas Suroso” ia menjawab sambil menepuk dadanya yang sengaja dibusungkan.
Aku melenguh meremehkan. Bagaimana bisa laki-laki di depanku ini sangat percaya diri, berlagak seolah dia pemegang peran penting acara ini.
“Melatih apa? Lha wong goyang sedikit saja sudah encok” timpalku dengan kesal.
“Wohoo. Jangan main-main cantik! Tak buktikan sekarang! Kalau Mas Suroso mu ini bisa menari seperti mereka” Ucapnya dengan satu tangannya di pinggang dan yang lainnya menunjuk ke arah panggung.
“Heleh, berisik mas!” jawabku jengah.
Mulut laki-laki ini memang tidak bisa berhenti mengoceh. Ada saja yang disangkut pautkan dengan kehidupannya.
“Bapak nggak ikut ke sini?” Tanya Mas Suroso mengedarkan pandangan mencari keberadaan orang tua ku.
“Bapak itu selalu sibuk dengan pekerjaannya, mungkin sudah lupa kalau dia masih punya anak. Atau sedang sibuk cari istri baru” kujawab sambil mengerucutkan bibir dengan lengan terlipat di dada.
Saat ini aku hanya tinggal bertiga di rumah, dengan bapak dan adik. Ibuku meninggal saat melahirkan Setyo. Bapak? Jangan tanya, ia kerap pergi keluar kota untuk bekerja.
“Hush, jangan ngomong sembarangan! Begitu juga bapakmu lho, nduk” tegur Mas Roso, tatapannya seketika berpaling ke arahku.
Aku tidak pernah membenci Bapak, hanya kurang setuju dengan didikannya. Untuk materi bisa kuacungkan 10 jempol bersamaan. Tetapi untuk kasih sayang, diancam dengan hukuman gantung pun ia tak akan sudi memberikan.
“Kamu ngomong gitu, biar dapet restu kan? Kalau perilakumu seperti dia, kutebas pisang mu!” bisikku tegas mengancamnya.