NORAK ADALAH HAK SEMUA ANAK BANGSA DI SEMUA WILAYAH

Almarhum Kakek saya yang hobinya menjala ikan di di sungai malam hari (orang sunda bilangnya “ngecrik”) pernah bercerita, pada suatu malam dia melewati sebuah lembah, dan di atas bukit yang dia lalui ada keramaian seperti pasar malam. Beliau yang merasa heran karena setahunya di atas situ tidak ada perkampungan melewatinya begitu saja dan meneruskan perjalanannya menuju sungai.
Besok harinya saat pulang beliau lewat ke tempat yang sama dan berpapasan dengan orang lain, lalu bertanya, “ada kampung apa di atas?” Dijawab oleh orang tersebut, “tidak ada kampung di situ pak. Yang ada di situ adalah kuburan umum,” katanya.
Dasar kakek saya kalo sudah hobi tidak bisa dilarang, besok lusanya dia lewat jalan situ lagi, walaupun tidak pernah ada kejadian serupa lagi.
Cerita lainnya adalah, saat anak-anak muda sedang mencari belut di sawah (orang sunda bilangnya “ngurek’), jika saat ngurek diikutin kuntilanak, mereka akan merasa senang, karena pasti hasil tangkapannya akan banyak. Jadi sambil ngurek, satu dua tangkapan mereka dilempar ke belakang (diberikan pada Kuntilanak tanpa perlu menoleh) Ini yang membingungkan, apa hubungannya kuntilanak dengan keberlimpahan belut. Tapi seringkali seperti itu.
Jadi ya orang-orang kampung juga percaya bahwa memang di lingkungannya ada mahluk ghaib, tapi ya B saja. Tidak berlebihan atau norak menanggapinya.
Tapi jika cerita hantu di kampung sudah diadopsi orang kota? Beuh! Oleh pemodal dikapitalisasi. Oleh konsumen deserbu. Hantu yang dalam kehidupan nyata merupakan mahluk tidak berdaya, di tangan kapitalis berubah jadi mahluk pembunuh.
Dasar kotaan!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *