Helena merenggangkan tubuhnya setelah menarik selimut tebalnya. Dengan mata yang terpejam, ia berusaha untuk tidur agar pikirannya berhenti mengingat kejadian tadi.
Saat sedang berusaha untuk tidur, tiba-tiba ponsel Helena berdering. Helena membuka mata dan melirik tajam ke arah layar ponsel yang menyala di atas meja samping ranjang.
Kemudian Helena memutuskan untuk bangkit, menegakkan tubuhnya di atas kasur, dan menyambar ponsel yang berdering di sana. Dengan layar yang masih menyala, ia membawa ponsel itu ke depan wajahnya untuk melihat siapa yang menghubunginya.
Helena mengerutkan keningnya saat melihat nomor yang tidak dikenal sedang menelepon. Dengan ragu, ia memutuskan untuk tidak menjawab panggilan tersebut hingga panggilan berakhir.
Namun, si penelepon misterius itu kembali menghubunginya. Helena merasa semakin penasaran dengan siapa yang sedang mencoba menghubunginya.
“Halo,” jawab Helena setelah akhirnya memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut.
“Aku bisa menebak, kau pasti susah tidur karena terus mengingat ciuman kita tadi, benar?” ucap si penelepon dengan suara yang penuh teka-teki.
Helena mendelikkan kedua matanya saat mendengar ucapan lawan bicaranya di ujung telepon. Dengan hati berdebar, Helena menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap sebentar pada layar yang menyala, melihat nomor ponsel tersebut dengan penuh kecurigaan.
“Dari mana kamu mendapatkan nomor ponselku?!” desis Helena dengan suara tegas setelah kembali menempelkan ponsel ke telinganya.
Sang pria di ujung telepon terdengar tertawa pelan, membuat Helena semakin merasa marah. “Mendapatkan nomor ponselmu bukanlah sesuatu yang sulit bagiku. Jangankan nomor ponsel, bahkan jika aku mau, aku bisa menyelinap ke dalam kamarmu,” ucapnya dengan nada sombong.
Helena mendengus, “Aku mempersilahkanmu kalau begitu, supaya aku lebih mudah membunuhmu!” ucapnya dengan nada tajam dan penuh tantangan.
Sang pria tertawa, “Kau lebih galak daripada ibumu, Baby Helen,” ucapnya dengan nada meledek.
Helena memutar malas kedua matanya sebelum suara bariton itu kembali terdengar, “Bagaimana rasanya berciuman denganku?” ucapnya dengan nada merayu.
“Menjijikan!” jawab Helena dengan tegas, sehingga tawa pria itu kembali terdengar di seberang sana.
“Sungguh?” tanya sang pria.
Helena menjawab dengan deheman singkat, “Hem.”
“Baiklah, itu artinya kita harus mengulanginya sampai kau bisa menikmatinya,” ucap sang pria dengan suara menantang.
Helena menjawab dengan tegas, “Aku akan mencekikmu kalau kamu berani menggangguku lagi!” Ancamannya terdengar dengan jelas di ujung telepon.
“Aku tidak berhenti karena yang memulainya bukan aku, tetapi kau. Jadi terimalah konsekuensinya. Aku akan tetap menjadi bayanganmu, Helena Roberto!” tekan sang pria dengan suara yang penuh dengan ancaman.
Sontak Helena melongo tidak percaya, “Setelah kamu menciumku sesuka hatimu, sekarang kamu malah menuduhku memulainya? Apakah kamu masih waras?!” pekiknya dengan penuh kekesalan.
“Yang menamparku di tempat umum siapa?” tanya sang pria di ujung telepon.
“Aku menamparmu karena kamu bersikap kurang ajar. Masih belum menyadarinya?” desis Helena dengan nada tegas dan penuh kekesalan.
“Aku yakin kau tidak buta. Penglihatanmu masih sangat bagus dan normal, begitu pun dengan ingatanmu. Aku yakin kau pasti tahu bagaimana insiden itu bisa terjadi, Helena,” ucap sang pria dengan suara yang tenang namun tajam.
“Aku tidak peduli dengan alasannya. Intinya, aku tidak suka kau menciumku! Aku bukan milikmu! Aku adalah seorang wanita yang memiliki kekasih!” tegas Helena dengan suara yang penuh dengan keberanian.
“Kekasihmu sangat buruk, sebaiknya lupakan saja,” sahut sang pria di ujung telepon, membuat Helena semakin naik pitam mendengarnya.
“Kamu tidak memiliki hak untuk menilai baik buruknya kekasihku! Kamu tidak berhak menentukan itu! Kamu bukan siapa-siapa, Heros! Kamu hanyalah pria brengsek! Kekasihku jauh lebih baik dari dirimu! Jauh!” tegaskan Helena dengan suara yang penuh kemarahan.
“Hm, kita lihat saja nanti,” ucap sang pria dengan nada yang penuh dengan teka-teki.
Hening sesaat. Helena justru mulai penasaran dengan respon pria itu. “Apa maksudmu?” tanyanya, suaranya terdengar pelan namun penuh dengan ketertarikan.
“Suatu saat nanti, kau akan tahu apa maksudku. Dan jika waktu itu tiba, aku harap kau tidak melupakan bahwa sebelum itu, aku pernah mengingatkanmu,” ujar Heros dengan nada misterius yang membuat Helena merasa penasaran.
Helena mendengus sambil memutar malas kedua matanya. “Dasar tidak jelas!” ucapnya dengan nada kesal sebelum akhirnya menjauhkan ponsel dari telinganya dan memutuskan panggilan dengan tegas.